HARIMAU
PENYELAMAT TELUK NAGA
(Oleh: Dewi Susanti)
“Naga mengamuk lagi…”
teriakan itu terus menggema di penjuru desa. Aku tidak merasa aneh lagi mendengarnya.
Hal ini sudah terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Aku langsung terjaga di
tengah malam itu. Lantai rumah kami yang mulai lapuk membuat tiap langkah
kakiku terdengar jelas. Kuintip perlahan dari jendela, orang-orang di desa kami
berlarian menuju rumah masing-masing.
“Teluk Naga”, itulah
nama desa kami yang terletak di jajaran Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan.
Sebuah desa yang masih kental dengan adat istiadat dan kepercayaan terhadap
hal-hal gaib. Sesuai namanya, desa ini dikenal dengan adanya mitos mengenai
naga. Menurut nenek moyang kami, pada jaman dahulu desa ini merupakan tempat
berkumpulnya para naga. Entah benar atau tidak, aku tidak terlalu serius
menanggapinya. Warga penghuni desa ini tidak terlalu banyak, tetapi rasa
kekeluargaan di antara kami terjalin dengan erat. Mata pencaharian penduduk di
sini sebagian besar adalah berladang.
Desa kami kaya dengan pepohonan,
diantaranya jenis jati, meranti, hingga ulin. Hanya saja, kami minim dari segi
sumber daya manusia. Rata-rata anak seusiaku tidak mengecap bangku pendidikan.
“Rimba…” suara parau
ayahku menyadarkan aku dari lamunan di keheningan malam itu. “Beberapa minggu
lagi, kamu tepat berusia tujuh belas tahun. Dengan begitu, semua wewenang ayah
sebagai pemimpin desa ini akan dilimpahkan kepadamu. Ayah harap, kamu tidak
akan mengecewakan keluarga kita.” sambung ayah yang langsung masuk ke biliknya.
Ya, ayah memang sudah begitu tua. Selain itu, di desa ini masih menganut sistem
kepemimpinan turun-temurun seperti ini.
“Iya, ayah…” cuma kata
itu yang bisa kuucapkan meski sebenarnnya di dalam hati aku belum yakin dapat
memimpin desa ini. Hanya saja, ayah terlalu yakin akan harapannya.
Sampai-sampai, dia menamaiku Rimba. Hehe… Menggambarkan hutan yang besar dan
ganas.
Sebenarnya, aku
mempunyai sebuah keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Di antara teman-teman, aku termasuk beruntung bisa mengecap pendidikan hingga
SMA. Namun, aku juga tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan
oleh ayahku.
Kepak sayap si Jagau,
ayam kesayanganku, membangunkan aku dari buaian mimpi. Aku bangun dengan
semangat baru. Hari ini desa kami kedatangan tamu istimewa. Kata ayahku, tamu
itu dari dinas kehutanan yang ingin mengadakan konservasi di hutan kami.
Pak Wiguna, begitulah
panggilan beliau. Usia beliau sekitar 45 tahun. Senyumnya begitu lembut dan
sikapnya penuh wibawa. Aku menjadi langsung akrab sejak awal bertemu. Untuk
beberapa hari ini, beliau tinggal di balai adat kami. Jujur, aku kagum dengan
beliau. Di saat orang-orang desa gempar dengan adanya mitos naga, beliau justru
berani keluar masuk kawasan hutan Teluk Naga.
Seperti biasa, sore ini
aku berkumpul dengan para pemuda desa. Dua orang sahabat karibku adalah Hamidi
dan Maulana. Bagiku, berteman dengan mereka mempunyai keunikan tersendiri.
Hamidi memiliki banyak ide cemerlang, sedangkan Maulana tergolong pemuda yang
tangguh.
“Teman, aku prihatin
dengan keadaan desa ini. Dengan munculnya desas-desus tentang naga yang
mengamuk di hutan, penghasilan penduduk mulai menurun. Bagaimana tidak? Mereka
tak berani lagi memasuki hutan untuk berkebun ataupun bercocok tanam.” ungkapku
membuka pembicaraan di sore ini.
“Iya, benar.
Ladang-ladang kami terbengkalai dan kami tak tahu lagi bagaimana keadaannya
sekarang.” sahut Maulana.
“Teman-teman, aku yakin
malam ini suara aneh itu akan terdengar lagi dan seperti biasa masyarakat akan
bersembunyi di kamar masing-masing.” ungkap Hamidi sambil merenung.
Benar saja. Belum
sempat aku menanggapi pembicaraan mereka, suara aneh itu muncul lagi. Mulanya
berupa raungan keras, kemudian disusul suara benda patah. Tak berapa lama,
muncul semacam kilatan cahaya mengangkasa di hutan.
“Memang, kalau
dipikir-pikir mungkin saja yang dikatakan oleh para warga itu benar. Raungan
itu tak lain adalah raungan naga. Setelah itu, naga itu mengamuk sehingga
mematahkan pepohonan di hutan. Lalu kilatan cahaya itu pastilah semburan apinya…”
kata Maulana memecah keheningan.
“Tapi, keberadaaan naga
itu kan hanya mitos dan aku pun belum percaya sebelum melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri,” bisikku kepada teman-teman karena takut terdengar masyarakat
sekitar, terutama ayahku yang memegang teguh mitos Teluk Naga.
“Daripada kalian
berdebat, lebih baik kita adakan saja semacam penyelidikan ke hutan. Kita kan
bisa mengintip dari balik pepohonan?” usul Hamidi bersemangat.
“Ide bagus, anak-anak!”
seru Pak Wiguna yang tiba-tiba muncul di belakang kami. “Maaf, sudah
mengagetkan kalian. Aku tertarik mendengarnya.” sambung Pak Wiguna.
“Eh, Pak Wiguna! Tidak
apa-apa, Pak. Saya juga senang kalau Bapak setuju dengan pendapat kami.” Sahutku
agak tergagap karena masih terkejut melihat Pak Wiguna yang mendadak keluar dari balai adat menuju
pelataran di mana kami duduk sekarang.
“Soalnya, Bapak juga
khawatir dengan situasi masyarakat di sini. Mereka terlalu percaya dengan mitos
naga itu. Hasilnya, ladang mereka jadi terbengkalai. Padahal, ketika aku keluar
masuk hutan, aku tidak pernah bertemu dengan naga itu.” ungkap Pak Wiguna
meyakinkan.
Berbincang-bincang
dengan Pak Wiguna ternyata mengasyikkan. Kedatangannya bagaikan secangkir kopi
yang mengobati rasa ngantuk kami hingga malam semakin larut.
Hari terus berganti.
Upacara “aruh” pemindahan wewenang kepemimpinan ayah akan berlangsung satu
minggu lagi. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan menghabiskan masa-masa
bersama teman-temanku. Sore itu, aku bersama Hamidi dan Maulana bertekad
memasuki hutan. Orang tua kami tak ada yang mengetahui hal ini. Mereka mengira
kami tidur di balai adat seperti biasanya.
Dengan berbekal mandau
dan secuil nyali, akhirnya kami sudah berhasil menerobos belantara Teluk Naga
itu. Siapapun yang memasuki hutan kami pastilah akan terkagum-kagum melihat
pepohonan yang menjulang tinggi, daun-daunnya yang rimbun menjadi kanopi bagi
flora dan fauna yang ada di sana. Cukup sulit menembus belantara hutan hujan
tropis yang lembab ini. Apalagi, kami harus waspada dengan adanya lintah yang
berkeliaran bebas menempel pada dedaunan basah.
Sang mentari perlahan
menyelinap di balik kokohnya Pegunungan Meratus. Langit seolah menjadi kanvas
indah dengan bauran warna jingga, kuning, dan merah di senja itu. Burung-burung
menghiasi angkasa berjejer pulang menuju sarangnya. Tak berapa lama, langit
mendadak gelap. Memang, tinggal di pegunungan ini malam terasa datang begitu cepat
dan subuh lambat berlalu. Seketika, hembusan angin semilir di malam itu menjadi
selimut bagi tubuh kami yang sudah dilapisi sarung.
Kami bertiga
bersembunyi di balik sebuah batang pohon besar yang berada di dekat Teluk Naga,
sebuah teluk besar yang konon kata penduduk sekitar, di teluk itulah naga yang
mengamuk muncul.
Dalam keheningan, kami
menunggu dengan wajah tegang. Namun, tak ada satu tanda pun yang mengisyaratkan
munculnya seekor atau bahkan lebih banyak naga di malam ini. Mungkin, masih
terlalu dini bagi naga itu untuk memunculkan diri. Hingga akhirnya, kami
bertiga hanya bisa menyandarkan diri di pohon besar itu. Kulihat Maulana mulai
menguap, disusul oleh Hamidi. Tak lama, akupun mulai menguap. Gawat! Ternyata
kami terserang ngantuk. Tak sadar, kami memejamkan mata sejenak di balik pohon
itu.
Tiba-tiba, aku
mendengar suara gemerisik dari belakang kami. Semakin lama, semakin terdengar
jelas. Kupikir itu hanya mimpi. Ternyata tidak! Secepatnya kubangunkan Hamidi
dan Maulana. Mereka juga mendengar suara gemerisik itu. Tak ada seorangpun dari
kami yang berani berbalik.
Tiba-tiba saja terasa
ada yang mencengkeram pundak kami. Tak jelas itu apa, tetapi terasa sangat
dingin. Dari belakang, tercium aroma
tidak enak yang membuatku merinding. Ketika berbalik, kaki kami sudah terasa
lunglai dan otot-otot terasa kaku. Mata kami nanar dan penglihatan menjadi
berkunang-kunang. Tak sempat terlihat jelas apa yang ada di hadapan kami saat
itu. Sesosok bayangan hitam, itulah yang sempat kuingat hingga akhirnya kami
tak sadarkan diri.
“Oooooaaaa….” Raungan
itu mulanya terdengar samar. Namun, lama-kelamaan terasa memekakkan telinga.
Aku langsung
terperanjat. Kulihat Hamidi dan Maulana masih membujur kaku di sampingku.
Pikiranku mulai jernih kembali. Aku sadar bahwa sekarang kami sedang terikat
oleh tali besar. Aku tidak mengenali ruangan yang sekarang kami tempati. Sebuah
pondok terbuat dari rotan. Aku tak tahu sudah berapa lama kami diringkus di
dalam pondok itu, tetapi kulihat rembulan dari lubang pondok itu masih belum
terlalu tinggi.
“Tak lama…” pikirku.
Kusenggol teman-teman
di kiri dan kananku. Untunglah mereka cepat terbangun. Aku baru ingat bahwa
tadi aku membawa sebuah pisau lipat di saku celana, meski mandau kami sudah
raib entah ke mana. Dengan sigap Maulana meraih pisau itu dengan bantuan
mulutnya. Akhirnya, dia pun melepaskan ikatan kami satu per satu.
Tanpa sempat memikirkan
apa yang telah terjadi, kami langsung melangkah pelan menuju keluar pondok itu.
Tiba-tiba langkah kami terhenti ketika melihat seorang pria berusia empat
puluhan bergegas keluar dari pondok itu.
“Sstttt!” Itu kan Pak
Junay. Apa yang beliau lakukan di sini?” bisik Hamidi kepada kami.
“Jangan-jangan, beliau
yang telah membius lalu menyekap kita di sini.” jawab Maulana.
“Jangan langsung
memvonis begitu. Lebih baik kita ikuti saja beliau secara sembunyi-sembunyi.” usulku.
Pak Junay tergolong sebagai pendatang baru di desa kami. Orangnya terkesan acuh
dan tidak ada warga yang suka pada beliau. Karena itulah beliau lebih memilih
tinggal di hutan.
Remang-remang cahaya
bulan ternyata tidak terlalu mampu menembus lebatnya dedaunan di hutan itu.
Kami pun menapakkan langkah di kegelapan. Pak Junay berjalan sangat cepat,
kupikir hampir setengah berlari. Seketika, kami langsung kehilangan jejak
beliau.
Tak diduga, kulihat
Teluk Naga mengepulkan asap. Dengan pantulan sinar bulan, terlihat
gelembung-gelembung muncul di permukaan teluk itu. Tiba-tiba saja cahaya
benderang tampak dari dalam teluk. Raungannya memekakkan telinga. Naga!
Kami beberapa kali
mengedipkan mata dan mencubiti pipi masing-masing. Kupikir hanya mimpi, tapi
ternyata naga itu memang benar-benar ada di hadapan kami. Kami pun berlarian
mencari jalan keluar dari hutan. Ketika sampai di perkampungan, suara naga itu
masih terdengar disertai oleh kilatan cahaya yang mengangkasa. Kami bertiga
hanya terdiam dan berjanji dengan diri masing-masing untuk tetap merahasiakan
pengalaman menyeramkan di malam itu.
Upacara pengangkatan
pemimpin desa berlangsung tiga hari lagi. Aku masih penasaran dengan sosok naga
yang kami lihat beberapa hari lalu. Kali ini, kami kembali memasuki belantara
Teluk Naga. Sengaja kupilih waktu agak malam agar tidak terlalu lama menunggu
dan juga agar tidak ada yang mengetahui kepergian kami.
Aneh, malam itu Teluk
Naga terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda akan keluar makhluk aneh. Malam
terasa sangat hening dengan dipantau secercah cahaya rembulan yang sepertinya
bersusah payah menerobos belantara hutan hujan tropis yang lembab itu.
Tiba-tiba mataku
terbelalak melihat sesosok tubuh yang kukenal berdiri di tepi teluk. Pak Junay!
Beliau memegang senter sambil menggumam aneh. Kami berusaha bersabar menahan
diri untuk tidak keluar dari tempat persembunyian. Kami perhatikan tiap
gerak-gerik beliau. Beliau agak merunduk dan seolah menemukan sesuatu di
gundukan serasah daun kering yang menutupi tanah. Tiba-tiba beliau tersenyum puas
kemudian menyelinap masuk ke dalam lubang yang ternyata terdapat di permukaan
tanah tadi.
Belum sempat kami sadar
dari rasa terpana, dalam sekejap muncul sesosok makhluk aneh dari teluk itu.
Makhluk berbentuk seperti ular besar dengan sisik berwarna keemasan. Panjangnya
hampir sepuluh meter. Diameter tubuhnya mencapai dua meter. Wajahnya terlihat
marah dan menyeramkan. Inilah makhluk naga yang selama ini ditakutkan oleh
penduduk desa kami. Naga itu meraung lagi diiringi semburan api. Tiba-tiba saja
pohon besar yang terletak beberapa meter dari kami langsung roboh. Kejadian itu
terus berulang seolah mengikuti ritme tertentu.
“Aku jadi curiga.
Padahal naga itu hanya meraung-raung saja di teluk. Namun, mengapa pepohonan
yang jaraknya lumayan jauh dari posisi naga menjadi roboh?” bisik Hamidi.
“Memang ada yang aneh.
Bagaimana kalau kita ikuti saja jejak Pak Junay tadi?” usulku.
Tanpa berpikir panjang,
akhirnya kami menuju tepian teluk dengan jalan agak merunduk agar tidak
terlihat oleh naga. Akhirnya, kami menemukan lubang rahasia itu. Terlihat
semacam tangga yang sengaja dibuat menuju ke bawah. Kami langsung memasuki
lubang itu dan sekarang sudah sampai di dasar. Ternyata terdapat semacam rongga
gua yang lapang di bawah sana.
Terowongan panjang itu
terus kami telusuri. Untung tidak terdapat percabangan sehingga kami lebih
leluasa menyusurinya. Kami memperlambat langkah ketika melihat Pak Junay yang
melangkah gontai di depan kami. Kami terus memperhatikan gerak-gerik beliau.
Tak disangka, tiba-tiba beliau berbalik.
“Astaga…” pekikku tak
sadar.
“Kalian lagi rupanya!
Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Pak Junay agak marah.
“Seharusnya kami yang
bertanya kepada Bapak, apa yang bapak lakukan di sini? Sedangkan Bapak hanyalah
pendatang baru.” jawabku ketus.
Tiba-tiba Pak Junay
mendekati kami seperti ingin membisikkan sesuatu. Namun, kami tidak percaya dan
langsung meringkusnya. Beliau terjatuh dan langsung kami ikat dengan tali yang
tadi dibawa oleh Maulana. Sebenarnya, tak ada maksud meringkus beliau. Hanya
saja, kami takut kalau beliau yang malah lebih dulu meringkus kami seperti
malam sebelumnya. Kami pun meneruskan perjalanan menelusuri lorong itu sambil
meninggalkan Pak Junay terikat sendirian.
Sesampai di ujung
lorong, pemandangan di sana sungguh di luar dugaan. Kulihat sebuah mesin besar,
pengeras suara, dan sebuah alat yang memancarkan kilatan api. Sepertinya, kami
bertiga sekarang memiliki kesimpulan yang sama. Naga itu hanya rekayasa!
Dengan hati-hati kami
menyelinap lebih jauh hingga menemukan ruangan agak lapang dan memperhatikan
alat rekaman suara naga, mesin pemompa udara yang disalurkan ke tubuh naga, serta alat pencipta kilatan cahaya.
Namun, siapa orang yang merencanakan rekayasa ini dan apa maksudnya? Aku yakin,
pertanyaan ini yang kini juga menghantui pikiran kedua kawanku. Apakah mungkin
Pak Junay, si lelaki misterius itu?
Belum sempat semua
pertanyaan terjawab, tiba-tiba sekejap kulihat sebuah jala besar tampak
dilontarkan oleh sosok bertopeng sehingga kami bertiga terjebak ke dalam jala
besar itu. Sosok bertopeng itu kini tertawa. Kulihat sekitar tiga orang
bertopeng lagi datang menuju kami dan mengikat serta menutup mulut kami dengan
lakban.
Kudengar naga rekayasa
itu terus meraung diiringi bunyi pohon patah dan disertai kilatan cahaya. Sosok
bertopeng tadi hanya berbicara dengan bahasa isyarat kepada ketiga temannya
sehingga kami tak mengenali sosok itu. Aku berpikir bahwa orang yang dicurigai
selama ini adalah Pak Junay. Namun, apakah mungkin padahal tadi beliau sudah
diikat? Atau mungkin ketiga teman beliau tadi yang telah melepaskan ikatan?
Tak lama, mereka tampak
bergegas pergi menuju lorong lainnya. Suasana hening menemani kami bertiga yang
terbujur kaku dalam ikatan dan mulut tertutup. Tiba-tiba datang bayangan
seperti orang yang mendekati kami. Semakin dekat bayangan itu, tapi kami tak
mampu menoleh ke belakang. Hingga akhirnya terasa ada yang memegang tangan
kami. Ternyata bukan hanya memegang, tapi dia berusaha melepaskan ikatan kami.
Kami berhasil lepas dan membuka lakban yang menutupi mulut masing-masing. Di
luar dugaan, ternyata orang yang menyelamatkan kami adalah Pa Junay.
“Sstttt!” bisik beliau
kepada kami dan meminta kami bergegas mengikuti beliau untuk bersembunyi.
Malang bagi kami, kaki Maulana tak sengaja terinjak besi sehingga terdengar
bunyi besi dan jeritan Maulana. Sekejap datang langkah kaki yang mengejar kami
dari belakang. Sambil membantu Maulana yang masih terseok kakinya, kami
berusaha mencari jalan keluar dari lorong gua. Kulihat tangga naik sudah di
depan mata. Tiba-tiba, kami disambut oleh sosok bertopeng yang ternyata juga
menghadang di depan. Kami terjebak!
Kembali kami berempat
diringkus dan dibawa lagi ke ruang lapang tempat penyimpanan mesin. Kulihat
kawanan sosok bertopeng lalu lalang sambil membawa kayu. Tak lama, terdengar
lagi derap kaki dari arah belakang. Kedengarannya bukan hanya satu orang, tapi
mungkin tiga atau lebih. Kulihat para sosok bertopeng berlarian.
“Kalian sudah
terkepung!” ucap salah seorang pria dengan nada tegas sambil menembakkan pistol
ke arah atas. Hingga ahkirnya kawanan bertopeng tadi diam dan mengangkat tangan
tanda menyerah.
Kami dilepaskan dan
ternyata komplotan yang datang tadi adalah kawanan polisi. Aku semakin bingung.
Setelah kawanan bertopeng ditangkap, barulah Pak Junay menjelaskan.
“Sebenarnya, aku adalah
kawanan polisi itu yang sengaja datang ke desa ini untuk mengadakan
penyelidikan terhadap kasus adanya naga yang baru-baru ini mengganggu
ketentraman penduduk. Karena itu lah aku keluar masuk hutan beberapa hari ini.
Setelah bukti-bukti dirasa cukup, aku memanggil kawan-kawanku. Untunglah
bantuan datang tepat waktu.” ungkap beliau menjelaskan.
“Pak, kami menjadi malu
karena selama ini justru mencurigai Bapak sebagai dalang dibalik semua ini.
Bahkan, tadi kami mengikat Bapak.” ucapku mewakili kawan-kawan.
“Haha… Bapak maklum
akan hal itu dan Bapak juga minta maaf karena kemarin sudah mengikat kalian.
Hal itu semata-mata kulakukan agar kalian tidak terlibat dalam kasus ini.” ucap
Pak Junay menjelaskan.
Lalu, siapa dalang
semua ini? Pak Junay membuka topeng penjahat itu. Pa Wiguna! Tak disangka,
orang yang kukira baik selama ini ternyata adalah dalangnya. Lalu, untuk apa?
Pertanyaan segera terjawab ketika Pak Junay dan kawan-kawan membuka gudang di
dekat gua yang ternyata adalah tempat penyimpanan kayu yang diambil dari hutan
kami. Berarti, hutan kami selama ini ditebang secara liar.
Pantas saja trik adanya
naga dipakai untuk menakuti penduduk sehingga tak ada yang berani ke hutan agar
mereka bebas menebang pohon di hutan ini. Lewat pengakuan dari Pak Wiguna, akhirnya
kami tahu bahwa naga mainan itu digerakkan dengan bantuan mesin udara
berkekuatan besar yang dipompa ke badan naga. Suara patah itu tak lain adalah
suara pohon yang ditebang dan kilatan cahaya hanyalah trik lain yang diciptakan
oleh mesin lainnya untuk lebih menguatkan keberadaan naga. Raungannya pun
hanyalah rekaman suara naga yang diberi pengeras suara. Pak Wiguna bukanlah
orang dari dinas kehutanan. Beliau hanya menyamar agar lebih leluasa memasuki
kawasan hutan. Akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing dan terlelap dengan
diiringi pengalaman tak terlupakan di malam itu.
Hari ini adalah
“aruh” pemindahan kuasa ayah atas desa
ini kepadaku. Dengan disaksikan warga setempat dan juga Pa Junay serta kawanan
polisi yang lain, akhirnya aku resmi menjadi pemimpin Desa Teluk Naga. Ada rasa
haru, bangga, dan senang atas kepercayaan yang mereka berikan kepadaku.
Di acara terakhir,
kulihat Pak Junay menyerahkan hadiah berupa lukisan kepadaku, Hamidi, dan
Maulana. Lukisan harimau nan gagah dengan latar berupa foto desa kami, Teluk
Naga.
“Hanya itu yang bisa
Bapak berikan sebagai tanda terima kasih kepada kalian, Harimau Penyelamat
Teluk Naga.” ucap Pak Junay dengan diiringi riuh tepuk tangan penduduk.
“Kalau boleh kami tahu,
mengapa jadi dinamakan Harimau, Pak?” tanyaku agak malu.
“Harimau itu… Hamidi,
Rimba, Maulana. Iya kan?” sahut Pak Junay sambil tertawa.
Hari-hari yang
melelahkan telah berlalu. Tak ada lagi raungan naga sehingga para penduduk
sudah aman keluar masuk hutan untuk bercocok tanam. Tugasku dan juga semua
penduduk desa ini adalah menjaga ketentraman desa Teluk Naga yang kami cintai.
Kabar baiknya, aku dan
juga Hamidi serta Maulana tahun depan dapat melanjutkan pendidikan kuliah ke
kota. Akhirnya Harimau bisa kuliah. Hehe… Suatu hal yang sebenarnya tak mungkin
bagi kami, tapi takdir berkata lain. Aku dan kawan-kawan menemukan sepucuk
surat di dalam lukisan itu yang menyatakan bahwa pemerintah daerah memberikan
beasiswa kepada kami. Suatu hadiah yang sangat membuat kami berlonjak
kegirangan.
Masalah pemimpin desa
ini, mungkin tahun depan akan kami tentukan ulang siapa yang lebih berhak
memimpin desa ini karena aku harus menuntut ilmu di kota orang. Pak Wiguna dan
kawan-kawan beliau saat ini sedang mendekam di penjara. Semoga mereka cepat
sadar bahwa keberadaan hutan sebagai paru-paru dunia sangatlah penting untuk
kelangsungan hidup umat manusia. Kita akan cepat kaya jika terus
mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. Akan tetapi, mampukah kekayaan itu
membeli rumah-rumah penduduk yang rusak atau bahkan membeli nyawa-nyawa yang
melayang karena banjir? Apakah kekayaan itu juga mampu membeli gas ozon untuk
menambal lapisan ozon kita yang telah berlubang? Yang jelas, kekayaan itu tak
akan mampu menggantikan flora dan fauna yang telah langka atau bahkan punah
karena ketamakan umat manusia. Sehingga tidak mustahil jika anak cucu kita
kelak mungkin tak kan pernah melihat lagi bekantan dan kasturi. Alam kita
memang kaya sehingga diperlukan orang-orang yang kaya hati untuk menjaga dan
melestarikannya.
“Ke mana petualangan
kita selanjutnya, kawan-kawan?” ucapku.
“Bagaimana kalau ke
puncak Gunung Halau-Halau?” usul Maulana.
“Setuju!” jawab Harimau
serentak. Ya, gunung tertinggi di Pegunungan Meratus itulah yang akan menjadi
sasaran kami berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar