SEKOLAH MENGGAPAI AWAN


   Judul di atas sebenarnya hanya merupakan sebuah perumpamaan. Sekolah kami terletak di jajaran Pegunungan Meratus, tepatnya di Desa Hinas Kiri Kec. Batang Alai Selatan, Kab. Hulu Sungai Tengah. SMPN 2 Satu Atap Batang Alai Timur, itulah tempat aku mengajar. Sekolah dengan status terpencil ini didapati melalui perjalanan yang lumayan jauh sekitar 35 km dari kota Barabai ditambah bonus jalanan yang terjal dan aspal yang rusak. Belum lagi kalau musim hujan telah tiba, maka akan menambah waktu tempuh. Jadi, setiap guru wajib hukumnya membawa jas hujan setiap hari. Kalau musim kemarau, bonusnya adalah debu jalanan. 
           Beberapa daerah yang dilewati juga merupakan akses bagi truk yang mengangkut material seperti pasir, tanah, dan batu yang ada di pegunungan. Inilah yang menyebabkan jalan cepat rusak, debu makin beterbangan, dan perjalanan akan semakin lambat jika memang harus beriringan dengan truk-truk tersebut. Jadi, tak ada salahnya untuk memakai masker.
Pertama-tama ditempatkan, memang hati mengeluh. Lama-lama akhirnya cinta juga dengan sekolah ini beserta panoramanya. Belum lagi, ada semacam suntikan semangat ketika memandang para siswaku yang selalu ramah dan tersenyum manis menyambut kedatangan kami di tiap paginya. Apalagi kalau mereka sudah berebutan minta dimasuki kelasnya untuk diajari, ahh… ini kepuasan batin tersendiri sebagai seorang guru.
Semangat semacam ini yang kadang jarang kutemui di kota-kota besar. Mereka ini menempuh jalan kiloan meter. Bahkan ada yang harus menempuh perjalanan berhari-hari ke sekolah. Bayangkan saja mereka yang berasal dari Desa Juhu. Jauh sekali! Mereka tak pernah mengeluh sedangkan perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki. Mereka sungguh luar biasa.
Kadang, hati merasa bersalah karena belum bisa menjadi fasilitator pembelajaran yang baik untuk mereka. Namun, apa yang disampaikan diusahakan adalah materi pelajaran yang memang dapat diimplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Ironis memang jika melihat anak-anak di kota yang hidup dengan segala kemudahan apalagi internet. Itu pun masih saja banyak yang tidak bersyukur. Bayangkan anak-anak kami di Pegunungan Meratus ini. Jangankan untuk bermain internet, jaringan telepon saja tidak ada. Ketika memasuki kawasan ini, rasanya kita diisolasi oleh hiruk pikuk kehidupan dan dering-dering telepon serta notifikasi social media. Ahh, rasanya seperti kembali ke jaman dahulu. Benar-benar menjadikan kita menyatu dengan alam dan menjadikan kami lebih perhatian dengan anak-anak di sana karena keadaan memaksa kami untuk tidak lagi ketergantungan dengan gadget.
Aku satu-satunya ibu guru di sana. Sudah lama mereka belum pernah diajari oleh ibu guru, sehingga terkadang mereka salah panggil. Memanggilku dengan sebutan “Pak”. Hehehe…aku aku salut dengan semangat mereka. Semoga anak-anak lainnya bisa mengadopsi semangat mereka ini. Aamiin…



0 komentar:

Posting Komentar