SEKOLAH MENGGAPAI AWAN


   Judul di atas sebenarnya hanya merupakan sebuah perumpamaan. Sekolah kami terletak di jajaran Pegunungan Meratus, tepatnya di Desa Hinas Kiri Kec. Batang Alai Selatan, Kab. Hulu Sungai Tengah. SMPN 2 Satu Atap Batang Alai Timur, itulah tempat aku mengajar. Sekolah dengan status terpencil ini didapati melalui perjalanan yang lumayan jauh sekitar 35 km dari kota Barabai ditambah bonus jalanan yang terjal dan aspal yang rusak. Belum lagi kalau musim hujan telah tiba, maka akan menambah waktu tempuh. Jadi, setiap guru wajib hukumnya membawa jas hujan setiap hari. Kalau musim kemarau, bonusnya adalah debu jalanan. 
           Beberapa daerah yang dilewati juga merupakan akses bagi truk yang mengangkut material seperti pasir, tanah, dan batu yang ada di pegunungan. Inilah yang menyebabkan jalan cepat rusak, debu makin beterbangan, dan perjalanan akan semakin lambat jika memang harus beriringan dengan truk-truk tersebut. Jadi, tak ada salahnya untuk memakai masker.
Pertama-tama ditempatkan, memang hati mengeluh. Lama-lama akhirnya cinta juga dengan sekolah ini beserta panoramanya. Belum lagi, ada semacam suntikan semangat ketika memandang para siswaku yang selalu ramah dan tersenyum manis menyambut kedatangan kami di tiap paginya. Apalagi kalau mereka sudah berebutan minta dimasuki kelasnya untuk diajari, ahh… ini kepuasan batin tersendiri sebagai seorang guru.
Semangat semacam ini yang kadang jarang kutemui di kota-kota besar. Mereka ini menempuh jalan kiloan meter. Bahkan ada yang harus menempuh perjalanan berhari-hari ke sekolah. Bayangkan saja mereka yang berasal dari Desa Juhu. Jauh sekali! Mereka tak pernah mengeluh sedangkan perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki. Mereka sungguh luar biasa.
Kadang, hati merasa bersalah karena belum bisa menjadi fasilitator pembelajaran yang baik untuk mereka. Namun, apa yang disampaikan diusahakan adalah materi pelajaran yang memang dapat diimplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Ironis memang jika melihat anak-anak di kota yang hidup dengan segala kemudahan apalagi internet. Itu pun masih saja banyak yang tidak bersyukur. Bayangkan anak-anak kami di Pegunungan Meratus ini. Jangankan untuk bermain internet, jaringan telepon saja tidak ada. Ketika memasuki kawasan ini, rasanya kita diisolasi oleh hiruk pikuk kehidupan dan dering-dering telepon serta notifikasi social media. Ahh, rasanya seperti kembali ke jaman dahulu. Benar-benar menjadikan kita menyatu dengan alam dan menjadikan kami lebih perhatian dengan anak-anak di sana karena keadaan memaksa kami untuk tidak lagi ketergantungan dengan gadget.
Aku satu-satunya ibu guru di sana. Sudah lama mereka belum pernah diajari oleh ibu guru, sehingga terkadang mereka salah panggil. Memanggilku dengan sebutan “Pak”. Hehehe…aku aku salut dengan semangat mereka. Semoga anak-anak lainnya bisa mengadopsi semangat mereka ini. Aamiin…



HARIMAU PENYELAMAT TELUK NAGA



HARIMAU PENYELAMAT TELUK NAGA
 (Oleh: Dewi Susanti)

 

“Naga mengamuk lagi…” teriakan itu terus menggema di penjuru desa. Aku tidak merasa aneh lagi mendengarnya. Hal ini sudah terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Aku langsung terjaga di tengah malam itu. Lantai rumah kami yang mulai lapuk membuat tiap langkah kakiku terdengar jelas. Kuintip perlahan dari jendela, orang-orang di desa kami berlarian menuju rumah masing-masing.
“Teluk Naga”, itulah nama desa kami yang terletak di jajaran Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Sebuah desa yang masih kental dengan adat istiadat dan kepercayaan terhadap hal-hal gaib. Sesuai namanya, desa ini dikenal dengan adanya mitos mengenai naga. Menurut nenek moyang kami, pada jaman dahulu desa ini merupakan tempat berkumpulnya para naga. Entah benar atau tidak, aku tidak terlalu serius menanggapinya. Warga penghuni desa ini tidak terlalu banyak, tetapi rasa kekeluargaan di antara kami terjalin dengan erat. Mata pencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah berladang.
Desa kami kaya dengan pepohonan, diantaranya jenis jati, meranti, hingga ulin. Hanya saja, kami minim dari segi sumber daya manusia. Rata-rata anak seusiaku tidak mengecap bangku pendidikan.
“Rimba…” suara parau ayahku menyadarkan aku dari lamunan di keheningan malam itu. “Beberapa minggu lagi, kamu tepat berusia tujuh belas tahun. Dengan begitu, semua wewenang ayah sebagai pemimpin desa ini akan dilimpahkan kepadamu. Ayah harap, kamu tidak akan mengecewakan keluarga kita.” sambung ayah yang langsung masuk ke biliknya. Ya, ayah memang sudah begitu tua. Selain itu, di desa ini masih menganut sistem kepemimpinan turun-temurun seperti ini.
“Iya, ayah…” cuma kata itu yang bisa kuucapkan meski sebenarnnya di dalam hati aku belum yakin dapat memimpin desa ini. Hanya saja, ayah terlalu yakin akan harapannya. Sampai-sampai, dia menamaiku Rimba. Hehe… Menggambarkan hutan yang besar dan ganas.
Sebenarnya, aku mempunyai sebuah keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Di antara teman-teman, aku termasuk beruntung bisa mengecap pendidikan hingga SMA. Namun, aku juga tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan oleh ayahku.
Kepak sayap si Jagau, ayam kesayanganku, membangunkan aku dari buaian mimpi. Aku bangun dengan semangat baru. Hari ini desa kami kedatangan tamu istimewa. Kata ayahku, tamu itu dari dinas kehutanan yang ingin mengadakan konservasi di hutan kami.
Pak Wiguna, begitulah panggilan beliau. Usia beliau sekitar 45 tahun. Senyumnya begitu lembut dan sikapnya penuh wibawa. Aku menjadi langsung akrab sejak awal bertemu. Untuk beberapa hari ini, beliau tinggal di balai adat kami. Jujur, aku kagum dengan beliau. Di saat orang-orang desa gempar dengan adanya mitos naga, beliau justru berani keluar masuk kawasan hutan Teluk Naga.
Seperti biasa, sore ini aku berkumpul dengan para pemuda desa. Dua orang sahabat karibku adalah Hamidi dan Maulana. Bagiku, berteman dengan mereka mempunyai keunikan tersendiri. Hamidi memiliki banyak ide cemerlang, sedangkan Maulana tergolong pemuda yang tangguh.
“Teman, aku prihatin dengan keadaan desa ini. Dengan munculnya desas-desus tentang naga yang mengamuk di hutan, penghasilan penduduk mulai menurun. Bagaimana tidak? Mereka tak berani lagi memasuki hutan untuk berkebun ataupun bercocok tanam.” ungkapku membuka pembicaraan di sore ini.
“Iya, benar. Ladang-ladang kami terbengkalai dan kami tak tahu lagi bagaimana keadaannya sekarang.” sahut Maulana.
“Teman-teman, aku yakin malam ini suara aneh itu akan terdengar lagi dan seperti biasa masyarakat akan bersembunyi di kamar masing-masing.” ungkap Hamidi sambil merenung.
Benar saja. Belum sempat aku menanggapi pembicaraan mereka, suara aneh itu muncul lagi. Mulanya berupa raungan keras, kemudian disusul suara benda patah. Tak berapa lama, muncul semacam kilatan cahaya mengangkasa di hutan.
“Memang, kalau dipikir-pikir mungkin saja yang dikatakan oleh para warga itu benar. Raungan itu tak lain adalah raungan naga. Setelah itu, naga itu mengamuk sehingga mematahkan pepohonan di hutan. Lalu kilatan cahaya itu pastilah semburan apinya…” kata Maulana memecah keheningan.
“Tapi, keberadaaan naga itu kan hanya mitos dan aku pun belum percaya sebelum melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” bisikku kepada teman-teman karena takut terdengar masyarakat sekitar, terutama ayahku yang memegang teguh mitos Teluk Naga.
“Daripada kalian berdebat, lebih baik kita adakan saja semacam penyelidikan ke hutan. Kita kan bisa mengintip dari balik pepohonan?” usul Hamidi bersemangat.
“Ide bagus, anak-anak!” seru Pak Wiguna yang tiba-tiba muncul di belakang kami. “Maaf, sudah mengagetkan kalian. Aku tertarik mendengarnya.” sambung Pak Wiguna.
“Eh, Pak Wiguna! Tidak apa-apa, Pak. Saya juga senang kalau Bapak setuju dengan pendapat kami.” Sahutku agak tergagap karena masih terkejut melihat Pak Wiguna  yang mendadak keluar dari balai adat menuju pelataran di mana kami duduk sekarang.
“Soalnya, Bapak juga khawatir dengan situasi masyarakat di sini. Mereka terlalu percaya dengan mitos naga itu. Hasilnya, ladang mereka jadi terbengkalai. Padahal, ketika aku keluar masuk hutan, aku tidak pernah bertemu dengan naga itu.” ungkap Pak Wiguna meyakinkan.
Berbincang-bincang dengan Pak Wiguna ternyata mengasyikkan. Kedatangannya bagaikan secangkir kopi yang mengobati rasa ngantuk kami hingga malam semakin larut.
Hari terus berganti. Upacara “aruh” pemindahan wewenang kepemimpinan ayah akan berlangsung satu minggu lagi. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan menghabiskan masa-masa bersama teman-temanku. Sore itu, aku bersama Hamidi dan Maulana bertekad memasuki hutan. Orang tua kami tak ada yang mengetahui hal ini. Mereka mengira kami tidur di balai adat seperti biasanya.
Dengan berbekal mandau dan secuil nyali, akhirnya kami sudah berhasil menerobos belantara Teluk Naga itu. Siapapun yang memasuki hutan kami pastilah akan terkagum-kagum melihat pepohonan yang menjulang tinggi, daun-daunnya yang rimbun menjadi kanopi bagi flora dan fauna yang ada di sana. Cukup sulit menembus belantara hutan hujan tropis yang lembab ini. Apalagi, kami harus waspada dengan adanya lintah yang berkeliaran bebas menempel pada dedaunan basah.
Sang mentari perlahan menyelinap di balik kokohnya Pegunungan Meratus. Langit seolah menjadi kanvas indah dengan bauran warna jingga, kuning, dan merah di senja itu. Burung-burung menghiasi angkasa berjejer pulang menuju sarangnya. Tak berapa lama, langit mendadak gelap. Memang, tinggal di pegunungan ini malam terasa datang begitu cepat dan subuh lambat berlalu. Seketika, hembusan angin semilir di malam itu menjadi selimut bagi tubuh kami yang sudah dilapisi sarung.
Kami bertiga bersembunyi di balik sebuah batang pohon besar yang berada di dekat Teluk Naga, sebuah teluk besar yang konon kata penduduk sekitar, di teluk itulah naga yang mengamuk muncul.
Dalam keheningan, kami menunggu dengan wajah tegang. Namun, tak ada satu tanda pun yang mengisyaratkan munculnya seekor atau bahkan lebih banyak naga di malam ini. Mungkin, masih terlalu dini bagi naga itu untuk memunculkan diri. Hingga akhirnya, kami bertiga hanya bisa menyandarkan diri di pohon besar itu. Kulihat Maulana mulai menguap, disusul oleh Hamidi. Tak lama, akupun mulai menguap. Gawat! Ternyata kami terserang ngantuk. Tak sadar, kami memejamkan mata sejenak di balik pohon itu.
Tiba-tiba, aku mendengar suara gemerisik dari belakang kami. Semakin lama, semakin terdengar jelas. Kupikir itu hanya mimpi. Ternyata tidak! Secepatnya kubangunkan Hamidi dan Maulana. Mereka juga mendengar suara gemerisik itu. Tak ada seorangpun dari kami yang berani berbalik.
Tiba-tiba saja terasa ada yang mencengkeram pundak kami. Tak jelas itu apa, tetapi terasa sangat dingin. Dari belakang, tercium  aroma tidak enak yang membuatku merinding. Ketika berbalik, kaki kami sudah terasa lunglai dan otot-otot terasa kaku. Mata kami nanar dan penglihatan menjadi berkunang-kunang. Tak sempat terlihat jelas apa yang ada di hadapan kami saat itu. Sesosok bayangan hitam, itulah yang sempat kuingat hingga akhirnya kami tak sadarkan diri.
“Oooooaaaa….” Raungan itu mulanya terdengar samar. Namun, lama-kelamaan terasa memekakkan telinga.
Aku langsung terperanjat. Kulihat Hamidi dan Maulana masih membujur kaku di sampingku. Pikiranku mulai jernih kembali. Aku sadar bahwa sekarang kami sedang terikat oleh tali besar. Aku tidak mengenali ruangan yang sekarang kami tempati. Sebuah pondok terbuat dari rotan. Aku tak tahu sudah berapa lama kami diringkus di dalam pondok itu, tetapi kulihat rembulan dari lubang pondok itu masih belum terlalu tinggi.
“Tak lama…” pikirku.
Kusenggol teman-teman di kiri dan kananku. Untunglah mereka cepat terbangun. Aku baru ingat bahwa tadi aku membawa sebuah pisau lipat di saku celana, meski mandau kami sudah raib entah ke mana. Dengan sigap Maulana meraih pisau itu dengan bantuan mulutnya. Akhirnya, dia pun melepaskan ikatan kami satu per satu.
Tanpa sempat memikirkan apa yang telah terjadi, kami langsung melangkah pelan menuju keluar pondok itu. Tiba-tiba langkah kami terhenti ketika melihat seorang pria berusia empat puluhan bergegas keluar dari pondok itu.
“Sstttt!” Itu kan Pak Junay. Apa yang beliau lakukan di sini?” bisik Hamidi kepada kami.
“Jangan-jangan, beliau yang telah membius lalu menyekap kita di sini.” jawab Maulana.
“Jangan langsung memvonis begitu. Lebih baik kita ikuti saja beliau secara sembunyi-sembunyi.” usulku. Pak Junay tergolong sebagai pendatang baru di desa kami. Orangnya terkesan acuh dan tidak ada warga yang suka pada beliau. Karena itulah beliau lebih memilih tinggal di hutan.
Remang-remang cahaya bulan ternyata tidak terlalu mampu menembus lebatnya dedaunan di hutan itu. Kami pun menapakkan langkah di kegelapan. Pak Junay berjalan sangat cepat, kupikir hampir setengah berlari. Seketika, kami langsung kehilangan jejak beliau.
Tak diduga, kulihat Teluk Naga mengepulkan asap. Dengan pantulan sinar bulan, terlihat gelembung-gelembung muncul di permukaan teluk itu. Tiba-tiba saja cahaya benderang tampak dari dalam teluk. Raungannya memekakkan telinga. Naga!
Kami beberapa kali mengedipkan mata dan mencubiti pipi masing-masing. Kupikir hanya mimpi, tapi ternyata naga itu memang benar-benar ada di hadapan kami. Kami pun berlarian mencari jalan keluar dari hutan. Ketika sampai di perkampungan, suara naga itu masih terdengar disertai oleh kilatan cahaya yang mengangkasa. Kami bertiga hanya terdiam dan berjanji dengan diri masing-masing untuk tetap merahasiakan pengalaman menyeramkan di malam itu.
Upacara pengangkatan pemimpin desa berlangsung tiga hari lagi. Aku masih penasaran dengan sosok naga yang kami lihat beberapa hari lalu. Kali ini, kami kembali memasuki belantara Teluk Naga. Sengaja kupilih waktu agak malam agar tidak terlalu lama menunggu dan juga agar tidak ada yang mengetahui kepergian kami.
Aneh, malam itu Teluk Naga terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda akan keluar makhluk aneh. Malam terasa sangat hening dengan dipantau secercah cahaya rembulan yang sepertinya bersusah payah menerobos belantara hutan hujan tropis yang lembab itu.
Tiba-tiba mataku terbelalak melihat sesosok tubuh yang kukenal berdiri di tepi teluk. Pak Junay! Beliau memegang senter sambil menggumam aneh. Kami berusaha bersabar menahan diri untuk tidak keluar dari tempat persembunyian. Kami perhatikan tiap gerak-gerik beliau. Beliau agak merunduk dan seolah menemukan sesuatu di gundukan serasah daun kering yang menutupi tanah. Tiba-tiba beliau tersenyum puas kemudian menyelinap masuk ke dalam lubang yang ternyata terdapat di permukaan tanah tadi.
Belum sempat kami sadar dari rasa terpana, dalam sekejap muncul sesosok makhluk aneh dari teluk itu. Makhluk berbentuk seperti ular besar dengan sisik berwarna keemasan. Panjangnya hampir sepuluh meter. Diameter tubuhnya mencapai dua meter. Wajahnya terlihat marah dan menyeramkan. Inilah makhluk naga yang selama ini ditakutkan oleh penduduk desa kami. Naga itu meraung lagi diiringi semburan api. Tiba-tiba saja pohon besar yang terletak beberapa meter dari kami langsung roboh. Kejadian itu terus berulang seolah mengikuti ritme tertentu.
“Aku jadi curiga. Padahal naga itu hanya meraung-raung saja di teluk. Namun, mengapa pepohonan yang jaraknya lumayan jauh dari posisi naga menjadi roboh?” bisik Hamidi.
“Memang ada yang aneh. Bagaimana kalau kita ikuti saja jejak Pak Junay tadi?” usulku.
Tanpa berpikir panjang, akhirnya kami menuju tepian teluk dengan jalan agak merunduk agar tidak terlihat oleh naga. Akhirnya, kami menemukan lubang rahasia itu. Terlihat semacam tangga yang sengaja dibuat menuju ke bawah. Kami langsung memasuki lubang itu dan sekarang sudah sampai di dasar. Ternyata terdapat semacam rongga gua yang lapang di bawah sana.
Terowongan panjang itu terus kami telusuri. Untung tidak terdapat percabangan sehingga kami lebih leluasa menyusurinya. Kami memperlambat langkah ketika melihat Pak Junay yang melangkah gontai di depan kami. Kami terus memperhatikan gerak-gerik beliau. Tak disangka, tiba-tiba beliau berbalik.
“Astaga…” pekikku tak sadar.
“Kalian lagi rupanya! Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Pak Junay agak marah.
“Seharusnya kami yang bertanya kepada Bapak, apa yang bapak lakukan di sini? Sedangkan Bapak hanyalah pendatang baru.” jawabku ketus.
Tiba-tiba Pak Junay mendekati kami seperti ingin membisikkan sesuatu. Namun, kami tidak percaya dan langsung meringkusnya. Beliau terjatuh dan langsung kami ikat dengan tali yang tadi dibawa oleh Maulana. Sebenarnya, tak ada maksud meringkus beliau. Hanya saja, kami takut kalau beliau yang malah lebih dulu meringkus kami seperti malam sebelumnya. Kami pun meneruskan perjalanan menelusuri lorong itu sambil meninggalkan Pak Junay terikat sendirian.
Sesampai di ujung lorong, pemandangan di sana sungguh di luar dugaan. Kulihat sebuah mesin besar, pengeras suara, dan sebuah alat yang memancarkan kilatan api. Sepertinya, kami bertiga sekarang memiliki kesimpulan yang sama. Naga itu hanya rekayasa!
Dengan hati-hati kami menyelinap lebih jauh hingga menemukan ruangan agak lapang dan memperhatikan alat rekaman suara naga, mesin pemompa udara yang disalurkan ke tubuh  naga, serta alat pencipta kilatan cahaya. Namun, siapa orang yang merencanakan rekayasa ini dan apa maksudnya? Aku yakin, pertanyaan ini yang kini juga menghantui pikiran kedua kawanku. Apakah mungkin Pak Junay, si lelaki misterius itu?
Belum sempat semua pertanyaan terjawab, tiba-tiba sekejap kulihat sebuah jala besar tampak dilontarkan oleh sosok bertopeng sehingga kami bertiga terjebak ke dalam jala besar itu. Sosok bertopeng itu kini tertawa. Kulihat sekitar tiga orang bertopeng lagi datang menuju kami dan mengikat serta menutup mulut kami dengan lakban.
Kudengar naga rekayasa itu terus meraung diiringi bunyi pohon patah dan disertai kilatan cahaya. Sosok bertopeng tadi hanya berbicara dengan bahasa isyarat kepada ketiga temannya sehingga kami tak mengenali sosok itu. Aku berpikir bahwa orang yang dicurigai selama ini adalah Pak Junay. Namun, apakah mungkin padahal tadi beliau sudah diikat? Atau mungkin ketiga teman beliau tadi yang telah melepaskan ikatan?
Tak lama, mereka tampak bergegas pergi menuju lorong lainnya. Suasana hening menemani kami bertiga yang terbujur kaku dalam ikatan dan mulut tertutup. Tiba-tiba datang bayangan seperti orang yang mendekati kami. Semakin dekat bayangan itu, tapi kami tak mampu menoleh ke belakang. Hingga akhirnya terasa ada yang memegang tangan kami. Ternyata bukan hanya memegang, tapi dia berusaha melepaskan ikatan kami. Kami berhasil lepas dan membuka lakban yang menutupi mulut masing-masing. Di luar dugaan, ternyata orang yang menyelamatkan kami adalah Pa Junay.
“Sstttt!” bisik beliau kepada kami dan meminta kami bergegas mengikuti beliau untuk bersembunyi. Malang bagi kami, kaki Maulana tak sengaja terinjak besi sehingga terdengar bunyi besi dan jeritan Maulana. Sekejap datang langkah kaki yang mengejar kami dari belakang. Sambil membantu Maulana yang masih terseok kakinya, kami berusaha mencari jalan keluar dari lorong gua. Kulihat tangga naik sudah di depan mata. Tiba-tiba, kami disambut oleh sosok bertopeng yang ternyata juga menghadang di depan. Kami terjebak!
Kembali kami berempat diringkus dan dibawa lagi ke ruang lapang tempat penyimpanan mesin. Kulihat kawanan sosok bertopeng lalu lalang sambil membawa kayu. Tak lama, terdengar lagi derap kaki dari arah belakang. Kedengarannya bukan hanya satu orang, tapi mungkin tiga atau lebih. Kulihat para sosok bertopeng berlarian.
“Kalian sudah terkepung!” ucap salah seorang pria dengan nada tegas sambil menembakkan pistol ke arah atas. Hingga ahkirnya kawanan bertopeng tadi diam dan mengangkat tangan tanda menyerah.
Kami dilepaskan dan ternyata komplotan yang datang tadi adalah kawanan polisi. Aku semakin bingung. Setelah kawanan bertopeng ditangkap, barulah Pak Junay menjelaskan.
“Sebenarnya, aku adalah kawanan polisi itu yang sengaja datang ke desa ini untuk mengadakan penyelidikan terhadap kasus adanya naga yang baru-baru ini mengganggu ketentraman penduduk. Karena itu lah aku keluar masuk hutan beberapa hari ini. Setelah bukti-bukti dirasa cukup, aku memanggil kawan-kawanku. Untunglah bantuan datang tepat waktu.” ungkap beliau menjelaskan.
“Pak, kami menjadi malu karena selama ini justru mencurigai Bapak sebagai dalang dibalik semua ini. Bahkan, tadi kami mengikat Bapak.” ucapku mewakili kawan-kawan.
“Haha… Bapak maklum akan hal itu dan Bapak juga minta maaf karena kemarin sudah mengikat kalian. Hal itu semata-mata kulakukan agar kalian tidak terlibat dalam kasus ini.” ucap Pak Junay menjelaskan.
Lalu, siapa dalang semua ini? Pak Junay membuka topeng penjahat itu. Pa Wiguna! Tak disangka, orang yang kukira baik selama ini ternyata adalah dalangnya. Lalu, untuk apa? Pertanyaan segera terjawab ketika Pak Junay dan kawan-kawan membuka gudang di dekat gua yang ternyata adalah tempat penyimpanan kayu yang diambil dari hutan kami. Berarti, hutan kami selama ini ditebang secara liar.
Pantas saja trik adanya naga dipakai untuk menakuti penduduk sehingga tak ada yang berani ke hutan agar mereka bebas menebang pohon di hutan ini. Lewat pengakuan dari Pak Wiguna, akhirnya kami tahu bahwa naga mainan itu digerakkan dengan bantuan mesin udara berkekuatan besar yang dipompa ke badan naga. Suara patah itu tak lain adalah suara pohon yang ditebang dan kilatan cahaya hanyalah trik lain yang diciptakan oleh mesin lainnya untuk lebih menguatkan keberadaan naga. Raungannya pun hanyalah rekaman suara naga yang diberi pengeras suara. Pak Wiguna bukanlah orang dari dinas kehutanan. Beliau hanya menyamar agar lebih leluasa memasuki kawasan hutan. Akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing dan terlelap dengan diiringi pengalaman tak terlupakan di malam itu.
Hari ini adalah “aruh”  pemindahan kuasa ayah atas desa ini kepadaku. Dengan disaksikan warga setempat dan juga Pa Junay serta kawanan polisi yang lain, akhirnya aku resmi menjadi pemimpin Desa Teluk Naga. Ada rasa haru, bangga, dan senang atas kepercayaan yang mereka berikan kepadaku.
Di acara terakhir, kulihat Pak Junay menyerahkan hadiah berupa lukisan kepadaku, Hamidi, dan Maulana. Lukisan harimau nan gagah dengan latar berupa foto desa kami, Teluk Naga.
“Hanya itu yang bisa Bapak berikan sebagai tanda terima kasih kepada kalian, Harimau Penyelamat Teluk Naga.” ucap Pak Junay dengan diiringi riuh tepuk tangan penduduk.
“Kalau boleh kami tahu, mengapa jadi dinamakan Harimau, Pak?” tanyaku agak malu.
“Harimau itu… Hamidi, Rimba, Maulana. Iya kan?” sahut Pak Junay sambil tertawa.
Hari-hari yang melelahkan telah berlalu. Tak ada lagi raungan naga sehingga para penduduk sudah aman keluar masuk hutan untuk bercocok tanam. Tugasku dan juga semua penduduk desa ini adalah menjaga ketentraman desa Teluk Naga yang kami cintai.
Kabar baiknya, aku dan juga Hamidi serta Maulana tahun depan dapat melanjutkan pendidikan kuliah ke kota. Akhirnya Harimau bisa kuliah. Hehe… Suatu hal yang sebenarnya tak mungkin bagi kami, tapi takdir berkata lain. Aku dan kawan-kawan menemukan sepucuk surat di dalam lukisan itu yang menyatakan bahwa pemerintah daerah memberikan beasiswa kepada kami. Suatu hadiah yang sangat membuat kami berlonjak kegirangan.
Masalah pemimpin desa ini, mungkin tahun depan akan kami tentukan ulang siapa yang lebih berhak memimpin desa ini karena aku harus menuntut ilmu di kota orang. Pak Wiguna dan kawan-kawan beliau saat ini sedang mendekam di penjara. Semoga mereka cepat sadar bahwa keberadaan hutan sebagai paru-paru dunia sangatlah penting untuk kelangsungan hidup umat manusia. Kita akan cepat kaya jika terus mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. Akan tetapi, mampukah kekayaan itu membeli rumah-rumah penduduk yang rusak atau bahkan membeli nyawa-nyawa yang melayang karena banjir? Apakah kekayaan itu juga mampu membeli gas ozon untuk menambal lapisan ozon kita yang telah berlubang? Yang jelas, kekayaan itu tak akan mampu menggantikan flora dan fauna yang telah langka atau bahkan punah karena ketamakan umat manusia. Sehingga tidak mustahil jika anak cucu kita kelak mungkin tak kan pernah melihat lagi bekantan dan kasturi. Alam kita memang kaya sehingga diperlukan orang-orang yang kaya hati untuk menjaga dan melestarikannya.
“Ke mana petualangan kita selanjutnya, kawan-kawan?” ucapku.
“Bagaimana kalau ke puncak Gunung Halau-Halau?” usul Maulana.
“Setuju!” jawab Harimau serentak. Ya, gunung tertinggi di Pegunungan Meratus itulah yang akan menjadi sasaran kami berikutnya.