MERINDUKAN BULAN

MERINDUKAN BULAN Gelap! Semuanya terasa gelap. Aku berjalan dengan hati. Mengikuti tongkat jiwa yang jadi penunjuk jalanku. Tiap hari aku mendengar gemercik air, desingan mobil, dan suara-suara di sekelilingku, tapi aku tak pernah melihatnya. Ya, aku seorang gadis buta. Buta sejak dilahirkan sehingga tak pernah tahu bagaimana wajah-wajah orang yang telah membesarkanku. Diusia 5 tahun, ayah dan ibuku meninggal karena sebuah kecelakaan. Memang, hati ini terasa hampa. Untungnya ada nenek yang senantiasa berada di sampingku hingga kini aku berusia 17 tahun. Nenek pula yang menyekolahkanku di sekolah luar biasa. “Dhea, ada Bulan di depan!” panggil nenekku sehingga akupun bergegas menuju ke ruang tamu dengan bantuan tongkatku. Seperti biasa, aku dan Bulan sering berbincang-bincang di teras ketika sore hari. Menurutku, dia anak yang baik meski baru sebulan ini menjadi kawanku. Kami kenal ketika ia membantuku yang terjatuh di jalan. Dia agak pendiam, tapi suka bertanya. Sehingga jika kami bertemu, aku yang suka bercerita panjang lebar dan dia menjadi pendengar setia. Banyak hal yang dia tanyakan tentang kehidupanku dan akupun memang terbuka untuk berbagi cerita. Usia kami yang juga sebaya mungkin menjadi faktor pemicu keakraban kami. Kali ini tak seperti biasanya dia tak menanyakan tentang diriku. Katanya, ada tugas dari sekolahnya dimana dia harus membuat sebuah cerpen. “Dhea, jujur saja aku paling tidak suka dengan yang namanya bercerita. Bisakah kamu membantuku untuk membuatkan cerpen tersebut? Temanya bebas saja. Kamu tinggal bercerita dan aku akan langsung menulisnya. Bagaimana?” pintanya. “Baiklah, tapi aku ingin mencari inspirasi dulu malam ini. Esok datanglah lagi ke sini.” ucapku. Esok sorenya kamipun bertemu lagi. Cerita yang kusuguhkan tidak lain adalah ceritaku sendiri. Cerita tentang kehidupan seorang gadis buta dalam menjalani kehidupan ini. Sepertinya ia puas dan pulang dengan riang hari ini. Sebulan berlalu, tak pernah kudengar lagi suara gadis itu. Ya, suara bulan! Hatiku sempat bertanya-tanya entah apa yang terjadi dengan dirinya. Jika dia bepergian jauh, tentunya mampir di rumahku untuk memberi kabar. Katanya, rumahnya lumayan jauh dari rumahku. Akupun tak bisa untuk mencari rumahnya. Hingga kini, hampir dua bulan tetap tak ada kabar berita tentang bulan. Aku sangat merindukannya. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan oleh suara pria yang agak serak. “Apa benar ini rumahnya Dhea Pratiwi?” ucapnya pelan. “Iya, benar.” jawabku. “Ini ada paket dari Jakarta.” sahutnya sambil memintaku untuk tanda tangan. Aku pun bergegas masuk mencari nenek yang sedang memasak di dapur. “Nek, ini ada titipan paket dari Jakarta.” “Sini nenek lihat!” jawab nenekku sambil bergegas membuka paket itu dan membacanya perlahan. “Untuk saudari Dhea Pratiwi, selamat karena cerpen Anda terpilih sebagai juara pertama sayembara cerpen tingkat nasional. Anda diundang ke Jakarta untuk bertemu dengan para penulis di sana. Undangan ada di lampiran. Terima kasih.” nenekku menangis membacanya dan langsung memelukku. Ini saat pertama kalinya aku naik pesawat terbang, tentunya masih dengan nenekku. Perjalanan yang lama hingga akhirnya kami berada di tempat tujuan. Di sana aku diwawancarai dan bahkan ada yang sempat minta tanda tangan. Selama satu bulan aku dan nenekku diminta menginap di Jakarta. Kata mereka, ada program penulisan novel yang diperpanjang dari cerpenku. Tentunya tak begitu sulit karena isinya hampir sama dengan kehidupanku. Setahun berlalu. Aku seperti biasanya duduk-duduk di teras sambil tak henti berharap agar Bulan datang menjengukku. Namun, harapan itu selalu sia-sia. Kehidupanku kini berubah. Semenjak novelku terbit dan menjadi Best Seller, tabunganku kini melebihi cukup untuk kehidupan kami. Tak seperti dulu, nenek harus pontang-panting menjual kue di jalanan. Sekarang, nenek cukup istirahat di rumah karena kami telah menjadi agen pembuat kue yang modalnya tentu saja dari tabungan hasil penjualan novelku. Tiba-tiba di depanku lewat seorang gadis dengan pakaian lusuh, seketika sebuah truk sampah yang melaju menabraknya. Mungkin karena takut, supir truk cepat-cepat membanting setir. Aku terpekik seiring dengan teriakan gadis itu. Kini aku ada di rumah sakit, di samping gadis yang ternyata hanya memiliki satu kaki. Setelah kecelakaan itu, kini ia kehilangan kedua kakinya. Aku tak tega melihatnya. Dua jam berlalu dan kini dia sadar dari pingsannya. Kulihat ia menatapku lekat dan tersenyum penuh arti. Entah kenapa, refleks aku memeluknya. “Dhea...” gumamnya lirih. Aku kenal suara itu. Suara orang yang kurindukan selama ini. Bulan! Ya dia memang bulan! “Bulan, ini benar kamu kan? Aku telah lama menunggumu. Telah lama menantikan kita berbincang-bincang lagi. Mendengar ceritaku...” ucapku sambil berhambur air mata. “Dhea, maafkan aku. Bukannya aku menghilang begitu saja, tapi setelah kudengar kabar bahwa kamu menjadi penulis terkenal dan juga sudah mengoperasi matamu, aku jadi segan dan malu bertemu kembali denganmu. Aku takut kamu tak mau lagi berteman denganku setelah tahu bahwa aku ini hanya gadis pincang yang jelek. “Bulan, aku tak pernah menilai persahabatan serendah itu. Kita manusia sama di hadapan-Nya. Hanya ketakwaan yang membedakan kita. Tak peduli bagaimanapun fisik kita. Bulan, aku sangat berterima kasih atas bantuanmu yang telah mengirimkan cerpenku pada sayembara itu. Aku benar-benar tak tahu. Tanpa kamu, tak mungkin aku bisa seperti ini. Aku bisa melihat alam di sekitarku dan yang terpenting aku bisa melihat wajah manismu, Bulan. Wajah benderang yang telah menyinari hari-hariku.” ungkapku. “Dhea, satu hal yang perlu kau ingat! Jika aku bulan, maka kamu adalah matahari. Cahaya benderang itu memang berasal dari hatimu. Aku sebagai bulan, banya memantulkan cahayamu sehingga bisa menerangi penghuni bumi. Agar mereka bisa mengenalmu dan kamu bisa melihat mereka. Aku hanyalah perantara...” sahutnya lirih. “Oh, bulan...” jawabku sambil memeluknya. Satu jam berlalu setelah aku mengurus semua administrasi pembayaran untuk perawatan bulan. Akupun berencana membelikan kaki palsu untuknya. Kubuka pintu kamarnya sambil kutatap senyum indah anak itu. Kuusap rambutnya lembut agar tak terbangun dari tidurnya. Alangkah terkejutnya aku saat tubuhnya terasa kaku dan dingin. Aku terpekik! Bulan telah menghadap-Nya.

JANJI TEGUH

Nah, d Minggu pagi yg cerah ini, Dw mo share cerpen ya. Cerpen Janji Teguh ini udh lama Dw buat. Ya lbh setahun yg lalu pokoknya. Cerpen ini pernah Dw kirim k harian Banjarmasin Post dan alhamdulillah terbit hari Minggu entah tgl brpa Dw lupa coz waktu itu msh blm langganan koran. Hehe... Taunya bahwa terbit jg pas ngajar d pondok pesantren, ada santriwati yg ngasih tahu. Cerpen yg terinspirasi dari keseharian Dw yg ngajar d daerah terpencil. Pengalaman yg luar biasa. Amazing! Oke deh... Terlalu banyak pengantarnya ya. Huhu... Yuk disimak! JANJI TEGUH Hari ini aku berdiri... Berdiri di hadapan para pembesar itu. Di hadapan pak gubernur, di hadapan para petinggi pemerintahan, pegawai dinas pendidikan, dan tentunya di hadapan ratusan guru. “Teguh!” kudengar MC upacara memanggil namaku. Mereka datang membawa piala bergilir nan besar itu. Aku menyambutnya dan berkesempatan bersalaman dengan pak gubernur. Sungguh ini serasa mimpi bagiku, tapi ini jelas bukan mimpi. Seminggu yang lalu, aku mengikuti perlombaan lari maraton untuk mewakili sekolahku. Sekolah yang letaknya jauh di pegunungan Meratus. Sekolah terpencil, begitu kata mereka. Meski begitu, tak ada yang mampu meruntuhkan niatku untuk bersekolah di sana, satu-satunya SMP di daerah kami. Puluhan kilometer jarak kami tempuh dengan kawan-kawan dari desaku untuk menuju sekolah itu. Perlu waktu sekitar dua jam, karena kami hanya berjalan kaki. Selain karena kami memang tak punya kendaraan bermotor, memang jalan yang kami lalui hanyalah jalan setapak yang tak bisa dilewati oleh motor apalagi mobil. Aku masih ingat ketika Pak Gusti memanggilku untuk mewakili sekolah dalam lomba maraton yang dilaksanakan di kabupaten. Jujur saja, aku tak pernah ke ibukota kabupatenku ini. Hanya tahu nama daerahnya. Perjalanan terjauhku hanya dari rumah hingga ke sekolah. Maklum, tak banyak waktu bagi kami untuk bisa jalan-jalan. Sepulang sekolah, kami langsung membantu orang tua ke ladang atau ke kebun karet. Ada perasaan senang ketika Pa Gusti, kepala sekolah sekaligus guru olahraga kami membawaku ke SMP 1, sekolah favorit anak-anak di kota ini. Senang bisa melihat suasana kota, senang bisa melihat kawan-kawan di sini. Kulihat para peserta lainnya mulai berbaris bersama denganku. Pakaian mereka terlihat baru, begitu pula sepatu mereka, bermerek! Tak jauh dari arena perlombaan, kulihat para orang tua mereka melambai-lambaikan tangan memberi dukungan. Ah, andai kedua orang tuaku masih hidup! Akan tetapi, lamunanku buyar ketika kulihat Pak Gusti menyemangatiku dengan berapi-api di luar sana. Perlombaan pun dimulai. Jarak yang cukup jauh pun kutempuh dengan penuh konsentrasi. Tak terlalu sulit bagiku karena aku sudah terbiasa berjalan jauh sehingga sampai separuh perjalanan, napasku belum terlalu “ngos-ngosan”. Kulihat beberapa kawan yang tadi memimpin di depan, mulai kulewati. Sebentar lagi garis finish. Akupun tambah bersemangat. Tanpa kuduga, ternyata sepatu yang kugunakan tiba-tiba robek di depan. Kelihatan seperti bermulut. Maklum, aku tak mampu membeli sepatu mahal. Kulihat para penonton spontan menertawakanku. Akupun hanya tersenyum. Kulihat Pak Gusti memberikan aba-aba agar aku melepas sepatuku itu. Meski sayang, ya dengan agak berat hati kulepaskan juga sepatu itu. Beberapa kawan sudah menyusul lariku. Kupercepat lariku meski harus menahan sakit karena kakiku menginjak kerikil. Akhirnya, garis finish itu pun bisa kulalui. Kulihat Pak Gusti membuka lebar tangannya dan langsung memelukku erat. “Selamat, Nak! Kamu berhasil.” ucap beliau sambil menepuk-nepuk pundakku. Setelah semua kenangan indah itu berlalu, kini aku sudah berada di alun-alun provinsi. Aku berhasil menjadi juara maraton tingkat kabupaten, provinsi, dan sebentar lagi berangkat ke Jakarta. Tiba giliranku untuk memberi sepatah dua patah kata sebagai ungkapan kemenangan. “Alhamdulillah, saya bisa berada di sini. Suatu kebanggan yang luar bisa ketika bisa menginjakkan kaki di sini. Bertemu dengan orang-orang hebat dan orang-orang petinggi daerah yang selama ini hanya saya kenal namanya lewat guru-guru di pegunungan Meratus sana. Di sini, saya hanya akan bercerita sedikit mengenai sekolah kami. Sekolah yang sangat kami sayangi. Sekolah yang jika kami berangkat dengan pakaian basah, maka akan kering jika kami sudah sampai di sana. Subuh kami berangkat, sore kami sampai di rumah. Maka sungguh sangat bersyukurlah bagi kawan-kawan yang bisa menikmati sekolah di perkotaan. Jangan pernah sia-siakan kesempatan yang dipercayakan orang tua kalian! Pergunakan kesempatan sekolah dengan fasilitas lengkap yang mereka berikan! Jujur, ini perjalanan terjauh yang pernah saya tempuh. Kami ini hanya anak ladang yang jika sepulang sekolah kami langsung membantu orang tua ke ladang. Jangankan untuk sekedar SMS-an apalagi facebook-an, jaringan HP tak ada di sana. Malam hanyalah waktu untuk tidur karena kami tak punya penerangan. Listrik belum menjamah desa kami. Ya, semoga saja benar-benar “belum”. Artinya, masih ada kemungkinan listrik itu kami nikmati. Meskipun begitu, ada banyak hal yang membuat kami jatuh cinta dengan sekolah itu diantaranya adalah lapangan voli dan kebaikan guru-guru di sana. Lapangan voli yang sangat kami sukai meski harus antri untuk memakainya. Tak peduli panas menyengat tubuh kami, tak peduli hujan yang mengguyur hingga basah dan becek sepatu kami. Guru-guru yang kami cintai yang telah memberi semangat tak berhingga kepada kami sehingga termotivasi agar bisa seperti kalian dan setidaknya tak jauh beda dengan kawan-kawan di kota. Terima kasih... terima kasih untuk guru-guruku. Terima kasih telah rela menemani hari-hari kami di sekolah terpencil itu. Terima kasih... Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional” ucapku tanpa bisa meneruskan lagi karena air mataku hampir menetes melihat Pak Gusti yang matanya mulai berkaca-kaca. Kudengar riuh sorak peserta upacara hari itu. Kulihat Pak Gusti membawakan kado untukku. Aku hampir terpekik karena senang melihat isi kado itu adalah sepatu bututku yang ternyata masih disimpan Pak Gusti. Sepatu pemberian almarhum orang tuaku. Sepatu yang penuh kenangan. Sepatu yang selama dua tahun ini menemaniku menerobos belantara dan terjalnya jalan di pegunungan Meratus. Di dalam hati aku berjanji, minimal untuk diriku sendiri, akan kuabdikan diriku untuk lebih menanamkan nilai pendidikan di negara ini. Aku akan menjadi guru. Guru di daerah pedalaman agar bisa membina anak-anak sana supaya tak jauh ketinggalan dengan mereka di kota. Ya, pendidikan memang sangat penting. Kadang aku bingung kenapa kawan-kawan di kota sana masih ada saja yang menyia-nyiakan segala kemudahan dan fasilitas yang telah mereka dapatkan. Tawuran antarpelajar, narkoba, bahkan free sex sudah menjamah para remaja kita. Tak hanya di kota, kini mulai merambah ke desa. Semoga saja kita semua bisa memaknai Hari Pendidikan Nasional ini bukan hanya sebagai hari peringatan semata, tapi bisa menjadikannya cermin untuk melakukan refleksi ke depannya agar bisa membangun moral bangsa yang lebih baik. Semoga kawan-kawan yang mendengar ungkapan hati anak desa ini merasa tergugah untuk lebih memperhatikan nasib kami, anak-anak di daerah terpencil. Amiin...

Sekilas Info

Hmmm... malam Minggu ya...
Kadang, ga sadar jg klo malam Minggu. Hehe...
Udah lama ga mengunjungi blog. Bikin blog ini tahun 2009, pas masih mahasiswa tuh! Hehe... Sekarang udh kerja.

Kadang bingung mo nulis apa. Tp kalau ditulis, ya jadilah sebuah tulisan.
Sebenarnya bukan karena malas ngunjungi blog ini. Masalahnya, Dewi tuh sering lp password pas mau masuk. Hehe...

Dewi punya seh stok cerpen n puisi. Cieee... Stok ya! Kaya banyak aja. Tp lumayanlah.
Nah, esok kan hari Minggu neh. Insya Allah Dewi mo share cerpen n puisi Dewi d sini. Sekarang mo bobo dulu. Maaf, ini cuma sekilas info. Hehehe...
Good night... 