Sedikit refreshing aja... Pas buka-buka file, eh ketemu tulisan ini. Sudah lama kubuat, entah untuk kepentingan apa, aku lupa. Sepertinya untuk lomba juga. Rita adalah teman sekampusku waktu kuliah S1. Lama tidak bertemu, eh pas di kantin S2 kami dipertemukan lagi. Alhamdulillah... Ternyata kami berada di semester yang sama saat kuliah S2. Namun, tidak pernah saling ketemu karena dia mengambil jurusan Manajemen Pendidikan, sedangkan aku Pendidikan Biologi. Ternyata sekarang kami sama-sama sudah punya anak satu. Hehe... Alhamdulillah. Meski sudah berkeluarga, karir juga tetap jalan.
BELAJAR DARI GALAM
Belajar
dari galam? Salah ketik kali ya... Apa seharusnya BELAJAR DARI ALAM? Hehe...
Tidak, kawan! Judulnya memang begitu. Simak aja!
“Kubuka
album biru... Penuh debu dan usang...” senandungku sambil menyetrika jilbab di
kamar kos. Ini hari pertamaku tanpa mama
di kamar kos ini. Tentu saja juga hari pertamaku masuk kuliah setelah mengikuti
masa orientasi yang menguras mental dan fisik. Kutatap merayap perlahan dinding
kamar yang aku huni sekarang.
Aku
terperanjat ketika sepasang mataku tertahan di sudut kamar. Ah, agendaku hari
ini! Ternyata sore ini ada instruksi dari dosen di kampus. Oh, ya! Namaku Dewi.
Aku kuliah di program studi Pendidikan Biologi. Akupun bergegas menyelesaikan
setrikaan hari ini dan dengan secepat kilat aku siap berangkat ke kampus. Aku
hanya jalan kaki. Jarak kampus dengan kosku dekat banget. Ya sekitar dua menit
jalan santai juga sampai.
Alhamdulillah...
akhirnya aku sampai juga di kampus dan bertemu dengan teman-teman. Tak lama
berbincang, ternyata dosenku sudah datang. Kami pun bergegas berkumpul dan
bersusun rapi di taman kampus.
“Assalamu’alaikum
Wr. Wb... Sengaja Bapak menyuruh kalian berkumpul hari ini untuk memberitahukan
agar kalian nantinya membawa tumbuhan galam. Kenapa? Karena kita sebagai
mahasiswa Biologi jadi harus peduli dengan alam. Satu orang wajib membawa satu
bibit galam. Bukan hanya sekedar membawa, tapi kita juga akan sama-sama
menanamnya dan tiap orang nantinya memeiliki kewajiban menjaga galamnya
masing-masing agar tetap tumbuh subur. Jika galamnya mati, maka wajib diganti
dengan yang baru. Jika tidak, maka akan berpengaruh terhadap nilai mata kuliah yang
Bapak ajarkan.” ucap Pak dosen sore itu.
Galam (Melaleuca
sp) adalah salah satu tumbuhan khas Kalimantan Selatan. Ya, aku sangat setuju
dengan instruksi dosenku barusan. Sekarang, tinggal memikirkan ke mana aku
harus mencari tumbuhan itu. Waktunya tinggal tiga hari lagi, sedangkan aku di
kota ini tidak membawa motor. Jadi, agak kesulitan kesana kemari.
Lagi-lagi
aku tertolong. Ternyata ada teman yang berbaik hati dan membawakan galam
untukku. Ah, dia baik sekali! Hari ini, aku dan teman-teman dengan senyum ceria
menanam galam bersama-sama. Masing-masing dari kami mencari tempat strategis
agar tidak terlalu sulit mencari ketika harus menyiramnya setiap hari. Ah, aku
memilih lahan di samping jalan setapak dan berada dekat dengan pohon pisang!
Kebetulan, jalan setapak itu adalah jalan menuju kosku.
Ternyata
teman-teman yang lain juga banyak memilih lahan dekat aku. Di samping kiriku,
kulihat Rita dengan telaten menanam galamnya. Meskipun kami baru kenal beberapa
hari, tapi bisa kutebak Rita adalah teman yang baik. Dia ulet kalau mengerjakan
sesuatu. Selain itu, dia juga rajin serta perhatian bahkan terhadap hal-hal
kecil sekalipun.
Sambil
berbincang dengan Rita, akhirnya galamku menancap juga. Tak lupa kuberi label
kertas dengan namaku di tumbuhan galam itu. Akhirnya, pekerjaan ini selesai
juga. Sekarang, tinggal merawat dengan sebaik-baiknya.
Karena
kosku yang paling dekat dengan lahan penanaman galam, menjadi hal yang sangat
mudah bagiku untuk bisa menyiraminya dengan teratur. Rame juga ya! Tiap sore di
kala kampus sepi, kami berdatangan ke kampus untuk menyiram galam-galam itu.
Ya, suatu rutinitas yang menciptakan keakraban di antara kami. Yang masih
kurang kenal pun, bisa saling mengenal.
Sekarang
kuliah sudah semakin padat dengan tugas-tugas dan praktikum. Suatu sore ketika
akan menyiram galam milikku, aku terkejut ketika melihat banyak galam yang layu
bahkan ada yang mati. Aku pun mempercepat langkah untuk menuju lahan tempat
galamku berada. Ternyata, galamku juga mengalami nasib yang sama. Daunnya sudah
berjatuhan. Bahkan, sudah ada ciri-ciri hampir mati. Padahal, waktu penilaian
sudah semakin dekat.
Galam
itu seharusnya diganti. Pikiranku kalut dan bingung harus mencari ke mana.
Ingin minta bantu teman-teman, tapi rasanya tidak enak. Aku pun dilanda
kebingungan. Ya, sudahlah! Kulihat galam milik Rita juga mulai berubah. Kusiram
tumbuhan itu meski keadaannya sudah mulai sekarat.
Keesokan
paginya ketika aku berangkat ke kampus, kupijakkan kaki di jalan setapak itu,
kutatap lahan penanaman galam. Ada yang galamnya tumbuh subur dan ada juga yang
sudah kecoklatan. Namun, aku tercengang ketika menatap dan mencoba mencari di
mana galamku berada. Galam yang sekarat itu... di mana oh di mana?
Benar!
Ini lahannya. Tepat di samping kanan pohon pisang dan bersebelahan dengan galam
Rita. Tapi di mana galamku? Di mana juga galam Rita? Tak ada lagi label nama
kami di sana. Anehnya, ada galam baru di sana. Aku tahu persis di mana lahanku.
Akan tetapi, kok tega-teganya ada yang mencabut dan mungkin saja sudah membuang
galam bernasib malang itu entah ke mana dan sekarang ada yang tega-teganya
menanami lahanku dengan galam baru.
Ah,
aku benar-benar tak terima! Kucabut galam baru itu, tapi tidak kubuang sih. Wah,
aku hampir telat nih! Kulanjutkan perjalanan menuju kampus. Saking sibuknya,
sampai-sampai aku lupa memberi tahu Rita bahwa galam kami sudah diganti.
Sorenya,
meski perasaan sedikit kesal, aku melangkah menyusuri jalan setapak menuju
penanaman galam. Di sana, aku bertemu Rita. Langsung saja kuceritakan tentang
nasib galam-galam itu.
“Ta,
tadi pagi kan aku lewat di sini. Namun, tak kudapati lagi galam kita. Sudah ada
yang menggantinya, Ta. Tega banget orang itu. Mentang-mentang galam kita
nasibnya sudah sekarat, eh enak-enaknya diganti dengan galam miliknya.” ceritaku
kepada Rita. Kulihat Rita hanya tersenyum. Aneh kawanku ini. Kenapa tak ada
ekspresi kesal? Sabar banget dia.
“Dewi,
aku yang telah mengganti galam itu.” jawabnya singkat.
Aku
tak sanggup berbicara. Hanya terdiam kaku.
“Makanya
aku bingung, Wi. Kenapa tiba-tiba galam yang kutanamkan di lahan Dewi tiba-tiba
tercabut?” sahut Rita lagi sambil tersenyum.
“Ta,
maafkan Dewi ya... Dewi yang telah mencabut galam itu. Dewi pikir...” sahutku
agak gugup.
“Wi,
nggak apa-apa. Yuk, tanam lagi galamnya dan kita rawat lagi bersama-sama!”
potong Rita.
Kami
pun menanam lagi galam baru itu dan memberi label nama kami. Tak hentinya
kuucap terima kasih kepada Rita, temanku yang baik. Maksudnya mungkin memberi
kejutan untukku. Aku saja yang sudah negative
thinking sehingga mencabut galam itu.
Sampai
sekarang, ketika aku sudah lulus kuliah dan menjadi seorang guru, aku selalu
mengingat jasa kawanku itu. Tiap kali bertemu Rita, aku jadi teringat galam. Tiap
kali aku mengungkit kembali kebaikannya itu, secepat kilat dia menangkisnya dan
tidak mau kebaikannya disebut.
Kini,
kami terpisah jauh dengan jalan masing-masing. Namun, dari Rita aku belajar...
Belajar bahwa segala kebaikan itu tak harus diceritakan kepada orang lain, tak
harus diungkit-ungkit lagi karena dilakukan atas dasar keikhlasan. Selain itu,
aku juga belajar bahwa pikiran negatif itu harus dibuang jauh-jauh. Be possitive thinking! Itu intinya.
Cerita ini kupersembahkan untuk temanku Rita Rahmayanti. Meski kamu tak mau
kebaikan ini diceritakan, tapi bagiku ini patut menjadi pembelajaran. Terima
kasih, Rita. Terima kasih Tuhan karena telah mempertemukan aku dengannya.
0 komentar:
Posting Komentar